Mengenang Perjuangan Pahlawan Indonesia
Sudah menjadi sejarah Indonesia semenjak 67 tahun yang lalu para pahlawan berjuang memperjuangkan Indonesia. Jiwa raga mereka dipertaruhkan demi Indonesia. Sejak itulah setiap tanggal 10 November diperingati sebagai hari Pahlawan. Namun, apakah hanya dengan sebatas memperingati? Jiwa – jiwa pahlawan mereka yang sekarang sangat sulit untuk kita temui. Sedikit membuka sejarah, bagaimana peristiwa 10 November ini terjadi?
Peristiwa 10 November merupakan peristiwa sejarah
perang antara Indonesia dan Belanda. Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang
mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, 8 Maret,
pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak
itu, Indonesia diduduki oleh Jepang.
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sebelum dilucuti oleh sekutu, rakyat dan para pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober. Tentara Inggris didatangkan ke Indonesia atas keputusan dan atas nama Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Tetapi, selain itu, tentara Inggris juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) pun membonceng. Itulah yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana.
Di
Surabaya, dikibarkannya bendera Belanda, Merah-Putih-Biru, di Hotel
Yamato, telah melahirkan Insiden Tunjungan, yang menyulut berkobarnya
bentrokan-bentrokan bersenjata antara pasukan Inggris dengan badan-badan
perjuangan yang dibentuk oleh rakyat. Bentrokan-bentrokan bersenjata
dengan tentara Inggris di Surabaya, memuncak dengan terbunuhnya Brigadir
Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30
Oktober.
Setelah
terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya (Mayor Jenderal
Mansergh) mengeluarkan ultimatum yang merupakan penghinaan bagi para
pejuang dan rakyat umumnya. Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa semua
pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan
meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri
dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi
tanggal 10 November 1945.
Ultimatum
tersebut ditolak oleh Indonesia. Sebab, Republik Indonesia waktu itu
sudah berdiri (walaupun baru saja diproklamasikan), dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai alat negara juga telah dibentuk.
Selain
itu, banyak sekali organisasi perjuangan yang telah dibentuk
masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar.
Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai manifestasi tekad
bersama untuk membela republik yang masih muda, untuk melucuti pasukan
Jepang, dan untuk menentang masuknya kembali kolonialisme Belanda (yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia).
Pada 10 November
pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dan
dahsyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30 000 serdadu, 50 pesawat
terbang, dan sejumlah besar kapal perang.
Berbagai
bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan
meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang
meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi, perlawanan
pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif
dari penduduk.
Pihak
Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa
ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan persenjataan
modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank, dan
kendaraan lapis baja yang cukup banyak.
Namun di luar dugaan, ternyata para tokoh-tokoh masyarakat
yang terdiri dari kalangan ulama’ serta kiyai-kiyai pondok jawa seperti
KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kiyai-kiyai pesantren
lainnya mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kiyai)juga
ada pelopor muda seperti bung tomo dan lainnya. sehingga perlawanan itu
bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke
minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara
spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran
besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota
jatuh di tangan pihak Inggris.
Peristiwa berdarah di Surabaya
ketika itu juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh
Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.
Semoga perjuangan para pahlawan terdahulu menjadi suri tauladan bagi kita.
sejarah.kompasiana.com
0 komentar:
Posting Komentar